SELAMAT DATANG DI BLOG LPSM. SEMOGA BERMANFAAT

Pembelajaran Kooperatif


1. Strategi Belajar Kooperatif Sebagai Teknologi Pembelajaran

Peer mediated instruction dapat diwujudkan melalui pengaturan kelas dengan cara menerapkan pembelajaran kooperatif (Elliot, et al., 1996; Moll, 1994; Nur & Samani, 1996; Qin, et al., 1995; Slavin, 1994; Slavin, 1995a,b). Implementasi strategi ini secara ekstensif akan membawa siswa ke arah terjadinya pemagangan kognitif (Gardner, 1991), yang menurut Hedegaard (1994) siswa mengalami perkembangan kognitif dalam konteks sosio-kulturalnya. Hal ini sejalan dengan teori perkembangan Vygotsky (zone of proximal development-ZPD) yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui proses interaksi sosial, yaitu interaksi siswa dengan anggota komunitasnya yang lebih berkompeten (masyarakat, keluarga, guru, dan teman sebaya). Interaksi sosial tersebut akan dapat menciptakan terjadinya pemrosesan informasi pada individu siswa, sehingga siswa mampu melakukan self-regulation dan menumbuhkan self-efficacy, serta dapat berpengaruh positif terhadap motivasi dan hasil belajarnya.
Pembelajaran kooperatif berimplikasi pada terjadinya cognitive elaboration, peer collaboration (berupa tutorial teman sebaya), dan peer copying model, yang pada akhirnya mengarah kepada peningkatan prestasi akademik (Slavin, 1995a,b) dan penghargaan diri, perbaikan sikap siswa (kecintaannya) terhadap teman sebaya, sekolahnya (Jacob, 1999), serta mata pelajarannya, gurunya, dan lebih terdorong untuk belajar dan berpikir (Lie, 2002). Di samping itu, penerapan pembelajaran kooperatif dapat mempercepat perolehan beberapa keterampilan inti, seperti: keterampilan kognitif, keterampilan afektif, berpikir kritis, dan berdampak pada pengukuran prestasi dan sikap, pada tingkat pendidikan dasar (SD/SLTP), menengah (SMU/SMK), dan pendidikan tinggi (Cooper, et al., 1999). Dengan landasan kerja student led discussion, khusus bagi siswa yang prestasinya rendah, kebermanfaatan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasinya, prestasi akademiknya, dan nilai-nilai sosial seperti kepekaan dan toleransi (Lundgren, 1994).
Kebermanfaatan inilah yang dijadikan salah satu alasan, mengapa strategi belajar kooperatif perlu dikembangkan untuk mengatasi efek nuansa belajar kompetitif yang merusak perkembangan psikologis siswa (Slavin, 1995a,b). Lundgren (1994) menyampaikan bahwa siswa harus merasakan dirinya ada dalam satu kebersamaan tanggungjawab, yang diistilahkan “tenggelam atau berenang bersama-sama (sink or swim together)”. Jadi dalam pembelajaran kooperatif, siswa akan mencapai tujuan belajarnya hanya jika siswa yang lain dalam kelompoknya yang sama dapat mencapai tujuan mereka tersebut secara bersama (Heinich, et al., 2002; Slavin, 1995a,b). Sangatlah jelas bahwa struktur tujuan kooperatif adalah dicirikan oleh saling ketergantungan yang cukup besar antar siswa dalam kelompoknya untuk mencapai kesuksesan praktik-praktik pembelajaran.
Kesuksesan praktik-praktik pembelajaran memiliki sifat-sifat yang didukung oleh beberapa perspektif yang sangat bervariasi (Heinich, et al., 2002), yaitu partisipasi aktif siswa, praktek, perbedaan-perbedaan individu, balikan, konteks-konteks realistik, dan interaksi sosial. Keenam perspektif ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Partisipasi aktif siswa; pembelajaran berjalan efektif apabila para siswa secara aktif terlibat dalam tugas-tugas bermakna dan aktif berinteraksi dengan pesan (isi) pembelajaran. 2) Praktik; dalam kondisi yang bervariasi, perspektif ini akan memberikan dukungan pada terjadinya perbaikan kemampuan penerapan pengetahuan baru, keterampilan, dan sikap, serta perbaikan retensi. 3) Perbedaan-perbedaan individu; pembelajaran yang diterapkan dikatakan efektif jika dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang menyangkut keterampilan personal, bakat umum, dan pengetahuan awal. 4) Balikan; dalam praktik pembelajaran sangat perlu memberikan balikan untuk mengetahui posisi diri siswa terhadap tugas-tugas yang dikerjakannya. 5) Konteks-konteks realistik; siswa akan lebih mudah mengingat dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh jika pengetahuan tersebut dikaitkan dengan konteks dunia nyata. 6) Interaksi sosial; menyangkut kemampuan siswa sebagai anggota kelompok dan/atau tutor sebaya untuk menyediakan sejumlah paedagogik dan dukungan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka strategi belajar kooperatif berpeluang sebagai teknologi pembelajaran, yang dapat menyediakan peluang terwujudnya kesuksesan praktik-praktik pembelajaran (Cooper & Robinson, 1998; Gokhale, 1995; Johnson & Johnson, 1999; Johnson, et al., 2000; Kronberg & Griffin, 2000; Lou, et al., 1996; Qin, et al., 1995; Springer, et al., 1999).
Belajar secara kooperatif mampu melibatkan siswa secara aktif melalui proses-proses mentalnya dan meminimalkan adanya perbedaan-perbedaan antar individu, serta meminimalisasi pengaruh negatif yang timbul dari kondisi pembelajaran kompetitif (persaingan belajar yang tidak “sehat”). Sebagai teknologi pembelajaran, belajar kooperatif memiliki sinergisitas peluang munculnya keterampilan sosial di antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Keterpaduan peluang tersebut dapat dilihat dari (1) dalam realisasi praktik hidup di luar kelas (sekolah), membutuhkan keterampilan dan aktivitas-aktivitas kolaboratif mulai dari dalam kelompok (tim) di tempat bekerja hingga ke dalam kehidupan sosial sehari-hari; (2) tumbuh dan berkembangnya kesadaran mengenai nilai-nilai interaksi sosial untuk mewujudkan pembelajaran bermakna (Heinich, et al., 2002).
2. Dampak Strategi Belajar Kooperatif dalam Pembelajaran IPA
IPA sebagai materi ajar di sekolah memiliki dua dimensi, yaitu sebagai produk dan proses ilmiah, yang penekannya lebih pada dimensi proses ilmiah. Berkenaan dengan hal ini, maka proses pembelajaran IPA lebih ditekankan pada pelaksanaan eksperimen di laboratorium dan di alam bebas (lingkungan sekitar siswa). Pembelajaran IPA di sekolah tidak hanya mementingkan penguasaan siswa terhadap fakta, konsep dan teori-teori IPA (sebagai produk), tetapi yang lebih penting adalah siswa mengerti terhadap proses bagaimana fakta, konsep dan teori-teori tersebut ditemukan. Dengan kata lain bahwa siswa harus mendapat pengalaman langsung dan bahkan jika memungkinkan menemukan sendiri proses tersebut melalui pendekatan proses mentalnya secara aktif. Pelibatan keterampilan proses sebagai upaya mental tersebut bertumpu pada aktivitas mengamati, mengukur, memprediksi, mengklasifikasikan, mengkomunikasikan, dan menginferensi (sebagai keterampilan proses dasar). Dengan demikian, maka hasil belajar yang menyangkut dua dimensi IPA dapat tercapai secara maksimal.
Sumber belajar yang dikenal baik oleh siswa (tersedia di lingkungan sekitar siswa, relevan, dan praktis), juga merupakan prasyarat pendukung. Bahkan menurut pandangan Tudge (1994), pencapaian hasil belajar maksimal memerlukan lingkungan pembelajaran yang menggabungkan bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi. Pandangan ini secara implisit memiliki makna bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk menggunakan pikiran dalam mengendalikan perilaku diri memerlukan syarat berupa penuntasan sistem-sistem dalam komunikasi budaya. Jadi secara tidak langsung siswa belajar keterampilan yang ada hubungannya dengan kerja, seperti: bagaimana mendengarkan, merespon, menyatakan setuju/tidak setuju, mengklarifikasi, memberikan dorongan kepada teman, dan mengevaluasi. Selanjutnya belajar menggunakan sistem tersebut untuk menyesuaikannya dengan proses-proses berpikir diri sendiri.
Sejalan dengan pandangan Tudge, menurut Hedegaard (1994) bahwa dalam lingkungan belajar tersebut juga terkandung aspek-aspek normatif perkembangan, di mana arah perkembangan tersebut dipedomani oleh pengajaran konsep-konsep ilmiah, yang mengarahkan bagaimana siswa berpikir dan bagaimana siswa mampu memandang lingkungan sosialnya. Implikasi dari pandangan ini bahwa proses pembelajaran IPA dapat berlangsung efektif melalui peer collaboration, yang pengejawantahannya dapat dilakukan dengan strategi belajar kooperatif.
Penelitian-penelitian dalam kawasan belajar kooperatif (Johnson & Johnson, 1999; Johnson, et al., 2000; Qin, et al., 1995; Springer, et al., 1999) telah mengungkapkan bahwa belajar kooperatif dapat memperbaiki perolehan belajar dan retensi isi pelajaran. Di samping itu juga, dapat meningkatkan keterampilan-keterampilan interpersonal (Heinich, et al., 2002) dan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik (Ahern-Rindel, 1999; Cooper & Robinson, 1998; Kronberg & Griffin, 2000). Dari penelitian-penelitian tersebut, juga terungkap betapa pentingnya unsur saling ketergantungan antar anggota kelompok sebagai kunci kesuksesan belajar dalam kelompok-kelompok kecil (kooperatif). Bahwa anggota kelompok harus memiliki suatu kepentingan bersama untuk pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
Slavin (1995a), di dalam bukunya Cooperative Learning; theory, research, and practice, melaporkan hasil-hasil penelitiannya mengenai pengaruh dan dampak belajar melalui kelompok-kelompok kecil (kooperatif) terhadap prestasi belajar dan di luar prestasi belajar. Perolehan prestasi belajar yang baik dan meningkat secara signifikan dipengaruhi oleh penghargaan kelompok berdasarkan aktivitas-aktivitas individual untuk semua anggota kelompok. Mengenai dampak strategi belajar kooperatif di luar prestasi belajar (non-kognitif variabel), dari hasil-hasil penelitiannya, Slavin (1995b) menyimpulkan bahwa strategi belajar kooperatif dapat mendorong/memperbaiki: penghargaan diri, saling mendukung untuk berprestasi, internal locus of control, kecintaan terhadap kelas dan teman, keseriusan dalam tugas (time on-task), dan hubungan atau interaksi antar individu yang berbeda. Dari hasil penelitian-penelitian yang dilakukan, dia juga berpendapat bahwa keefektifan belajar secara kooperatif tersebut sesuai dengan kerangka teoritis yang telah dikemukakan sebelumnya.
Kerangka teoritis tersebut menggambarkan suatu asumsi bahwa perilaku-perilaku dalam kelompok–kelompok kooperatif, seperti elaborasi kognitif, tutor sebaya, pemodelan teman sebaya, dan penilaian bersama (saling memberikan penilaian) dapat mengarahkan terjadinya peningkatan prestasi belajar. Penghargaan kelompok berdasarkan penampilan belajar individual diduga (dihipotesiskan) dapat memotivasi para siswa terlibat ke dalam perilaku-perilaku tersebut, tetapi tidak memiliki dampak langsung terhadap peningkatan perolehan atau hasil belajar. Kerangka kerja teoritik tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 2.1.
Tujuan-tujuan kelompok berdasarkan pengetahuan anggota kelompok
Motivasi untuk belajar
Motivasi untuk mendorong rekan sekelompok untuk belajar
Motivasi untuk membantu rekan kelompok dalam belajar
§ Penjelasan-penjelasan terelaborasi (tutor sebaya)
§ Pemodelan oleh teman sebaya
§ Elaborasi kognitif
§ Latihan oleh teman sebaya
§ Penilaian dan pengkoreksian oleh teman sebaya
Peningkatan prestasi belajar

Gambar 2.1: Kerangka kerja teoritik belajar kooperatif

(Slavin, 1995a: 45; Slavin, 1996: 57)

Dalam kaitannya dengan pembelajaran IPA, menurut beberapa ahli, belajar kooperatif bermanfaat untuk menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah, berpikir kritis (Lundgren, 1994), kemampuan bekerja sama, kemauan membantu teman, dan memahami konsep-konsep IPA yang sulit (Samani, 1996). Selain berpengaruh positif untuk peningkatan prestasi belajar (Dumas, 2003; Slavin, 1995a,b), dari hasil penelitian juga dilaporkan (Cooper & Robinson, 1998) bahwa belajar kooperatif dapat meningkatkan pencapaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dan perkembangan kognitif, serta berdampak pada siswa perempuan dan yang tergolong minoritas.
Dari beberapa laporan hasil penelitian yang telah dilakukan (Lundgren, 1994; Slavin, 1995a), implementasi teknik belajar kooperatif juga berpengaruh positif terhadap siswa yang berprestasi rendah. Penelitian-penelitian tersebut mengungkapkan bahwa manfaat belajar kooperatif untuk siswa berprestasi rendah adalah dalam hal: (1) penghargaan diri, (2) sikap terhadap IPA dan sekolah, (3) penerimaan perbedaan-perbedaan individu, (4) mengurangi konflik interpersonal, (5) peningkatan motivasi, (6) pemahaman materi meningkat dan retensi belajar yang lebih lama, (7) peningkatan prestasi belajar, dan (8) peningkatan sensitivitas dan toleransi.
Lyman & Foyle (1988) melaporkan bahwa implementasi belajar kooperatif juga berpengaruh positif terhadap anak-anak (pra-sekolah dan sekolah dasar). Belajar kooperatif dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar, mendorong sikap bekerja sama dalam kelompok, mengembangkan interaksi sosial dan akademik di antara anak-anak, dan meningkatkan kemampuan berpartisipasi dalam kelompok. Menurut Glasser (Lyman & Foyle, 1988), dengan memberikan dukungan teman sebaya motivasi kerja siswa sekolah dasar akan meningkat. Selain itu, siswa juga terdorong untuk berpikir kritis dan berpikir kreatif serta mempelajari materi ajar lebih mendalam. Khusus untuk siswa dengan prestasi rendah, melalui belajar kooperatif mereka bisa berkontribusi kepada kesuksesan kelompok, sedangkan bagi semua siswa akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap suatu ide dengan cara menjelaskan ide-ide tersebut kepada siswa lainnya.
Pendapat yang dikemukakan oleh Lyman & Foyle tersebut di atas, didukung pula oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Webb, 1989; Robinson, 1990; dan Allan, 1991 (dalam Slavin, 1995a). Mereka membuktikan bahwa siswa yang memperoleh prestasi belajar tinggi atau suatu keterampilan pada materi ajar tertentu dapat dipertahankan dengan cara menjelaskan/mendemonstrasikan kembali materi tersebut kepada rekan kelompoknya yang prestasinya rendah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa siswa yang memberikan penjelasan-penjelasan terelaborasi berarti belajar lebih banyak daripada siswa yang menerima penjelasan tersebut. Dalam kaitannya dengan pembelajaran IPA, Moody & Gifford (dalam Slavin, 1995a) menemukan bahwa kelompok dengan anggota dua orang (pairs) menghasilkan perolehan prestasi belajar IPA yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan empat orang. Mereka juga menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan dalam perolehan prestasi antara kelompok homogen dan kelompok heterogen.
3. Kerangka Implementasi Strategi Belajar Kooperatif STAD dan GI
dalam Pembelajaran IPA
Ada beberapa strategi belajar kooperatif yang bisa diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas, yang sudah dikembangkan dan diteliti secara ekstensif. Setiap metode memiliki landasan teoritik berdasarkan perspektif filosofis dan psikologis (behavioristik, kognitif, dan sosial) yang berbeda. Strategi belajar kooperatif STAD (Student Teams-Achievement Division) yang berlandaskan psikologi behavioristik (Jacobs, et al., 1996), merupakan kelompok belajar yang beranggotakan empat orang siswa berkemampuan campur. Strategi belajar kooperatif GI (Group Investigation) yang berlandaskan filosofi dari John Dewey (Jacobs, et al., 1996), lebih menekankan pada kebebasan memilih topik untuk diinvestigasi. Dengan kekhususan ciri dan perbedaan landasan teoritik yang dimiliki oleh masing-masing metode, maka setiap metode diduga akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pelaksanaan dan hasil belajar siswa (Johnson, et al., 2000; Qin, et al., 1995; Springer, et al., 1999).
3.1 STAD (Student Team Achievement Divisions)
Strategi belajar kooperatif STAD merupakan metode belajar kooperatif yang paling sederhana dan telah lama digunakan secara ekstensif dalam berbagai penelitian. Strategi kooperatif ini juga lebih sesuai dipakai untuk semua jenjang kelas, berbagai materi ajar, dibandingkan dengan bentuk-bentuk model belajar kooperatif lainnya (Slavin, 1995a,b). Sebagai strategi belajar kooperatif yang sederhana, STAD merupakan model yang bagus bagi seorang guru, yang akan memulai menerapkan belajar secara kooperatif (atau guru yang belum memiliki pengalaman/pengetahuan yang luas tentang belajar kooperatif).
Strategi belajar kooperatif STAD yang dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin (Slavin, 1995a) merupakan produk dari psikologi behavioristik. Lebih lanjut Slavin menyampaikan bahwa dalam menerapkan teknik kooperatif STAD aktivitas guru–siswa dalam pembelajaran meliputi 5 (lima) komponen utama, yaitu: (1) presentasi kelas, (2) pembentukan kelompok, (3) pelaksanaan kuis, (4) penentuan peningkatan skor individual, dan (5) pemberian pengakuan atau penghargaan kepada kelompok. Kelima komponen ini mutlak sebagai komponen strategi belajar kooperatif STAD.
Dalam implementasinya di kelas, pembelajaran dibuka dengan menyajikan informasi akademik oleh guru berupa informasi verbal atau teks. Presentasi oleh guru dapat dilakukan melalui presentasi audio-visual dan dibarengi dengan diskusi kelas. Siswa dalam satu kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok heterogen yang beranggotakan 4 atau 5 orang. Heterogenitas kelompok dicirikan oleh perbedaan kemampuan akademik (prestasi belajar), jenis kelamin, ras/suku/etnis. Dalam kelompok yang heterogen tersebut, masing-masing siswa harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelompok dan saling membantu satu sama lainnya untuk mencapai tujuan kelompok atau memahami materi ajar. Kegiatan siswa dalam kelompok meliputi tutorial, diskusi kelompok, kuis (saling memberi pertanyaan), membandingkan jawaban, dan mengoreksi miskonsepsi/kesalahan konsep rekan satu kelompok. Pelaksanaan kegiatan tersebut diarahkan oleh guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran.
Setelah satu atau dua kali periode presentasi yang dilakukan oleh guru dan satu atau dua periode kegiatan/latihan kelompok, setiap siswa secara individual diberikan tes (kuis) untuk mengetahui perkembangan belajarnya. Dari hasil kuis ini, setiap siswa akan memiliki skor peningkatan individual, yang juga mencerminkan seberapa besar siswa berkontribusi pada skor kelompok (pencapaian tujuan kelompok). Skor peningkatan individual tersebut merupakan skor perkembangan, yang didasarkan pada seberapa jauh skor tersebut meningkat, melampaui rata-rata skor sebelumnya dari pelaksanaan kuis yang sama (tidak didasarkan pada skor mutlak siswa). Setelah pelaksanaan kuis ini juga, dengan mengacu pada beberapa kriteria, atau lembar penilaian singkat, atau dengan cara lain, setiap kelompok (bisa juga anggota tim) diberikan pengakuan atau penghargaan berupa sertifikat. Guru sebaiknya mengumumkan kelompok yang mendapatkan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tertinggi, dan/atau siswa yang memperoleh skor sempurna pada kuis-kuis tersebut.
3.2 GI (Group Investigation)
Strategi belajar kooperatif GI dikembangkan oleh Shlomo Sharan dan Yael Sharan di Universitas Tel Aviv, Israel. Secara umum perencanaan pengorganisasian kelas dengan menggunakan teknik kooperatif GI adalah kelompok dibentuk oleh siswa itu sendiri dengan beranggotakan 2 – 6 orang, tiap kelompok bebas memilih subtopik dari keseluruhan unit materi (pokok bahasan) yang akan diajarkan, dan kemudian membuat atau menghasilkan laporan kelompok. Selanjutnya, setiap kelompok mempresentasikan atau memamerkan laporannya kepada seluruh kelas, untuk berbagi dan saling tukar informasi temuan mereka (Burns, et al., tanpa tahun). Menurut Slavin (1995a), strategi kooperatif GI sebenarnya dilandasi oleh filosofi belajar John Dewey. Teknik kooperatif ini telah secara meluas digunakan dalam penelitian dan memperlihatkan kesuksesannya terutama untuk program-program pembelajaran dengan tugas-tugas spesifik.
Pengembangan belajar kooperatif GI didasarkan atas suatu premis bahwa proses belajar di sekolah menyangkut kawasan dalam domain sosial dan intelektual, dan proses yang terjadi merupakan penggabungan nilai-nilai kedua domain tersebut (Slavin, 1995a). Oleh karena itu, group investigation tidak dapat diimplementasikan ke dalam lingkungan pendidikan yang tidak bisa mendukung terjadinya dialog interpersonal (atau tidak mengacu kepada dimensi sosial-afektif pembelajaran). Aspek sosial-afektif kelompok, pertukaran intelektualnya, dan materi yang bermakna, merupakan sumber primer yang cukup penting dalam memberikan dukungan terhadap usaha-usaha belajar siswa. Interaksi dan komunikasi yang bersifat kooperatif di antara siswa dalam satu kelas dapat dicapai dengan baik, jika pembelajaran dilakukan lewat kelompok-kelompok belajar kecil.
Belajar kooperatif dengan teknik GI sangat cocok untuk bidang kajian yang memerlukan kegiatan studi proyek terintegrasi (Slavin, 1995a), yang mengarah pada kegiatan perolehan, analisis, dan sintesis informasi dalam upaya untuk memecahkan suatu masalah. Oleh karenanya, kesuksesan implementasi teknik kooperatif GI sangat tergantung dari pelatihan awal dalam penguasaan keterampilan komunikasi dan sosial. Tugas-tugas akademik harus diarahkan kepada pemberian kesempatan bagi anggota kelompok untuk memberikan berbagai macam kontribusinya, bukan hanya sekedar didesain untuk mendapat jawaban dari suatu pertanyaan yang bersifat faktual (apa, siapa, dimana, atau sejenisnya). Menurut Slavin (1995a), strategi belajar kooperatif GI sangatlah ideal diterapkan dalam pembelajaran biologi (IPA).
Dengan topik materi IPA yang cukup luas dan desain tugas-tugas atau sub-sub topik yang mengarah kepada kegiatan metode ilmiah, diharapkan siswa dalam kelompoknya dapat saling memberi kontribusi berdasarkan pengalaman sehari-harinya. Selanjutnya, dalam tahapan pelaksanaan investigasi para siswa mencari informasi dari berbagai sumber, baik di dalam maupun di luar kelas/sekolah. Para siswa kemudian melakukan evaluasi dan sintesis terhadap informasi yang telah didapat dalam upaya untuk membuat laporan ilmiah sebagai hasil kelompok.
Implementasi strategi belajar kooperatif GI dalam pembelajaran, secara umum dibagi menjadi 6 (enam) langkah, yaitu: (1) mengidentifikasi topik dan mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok (para siswa menelaah sumber-sumber informasi, memilih topik, dan mengkategorisasi saran-saran; para siswa bergabung ke dalam kelompok belajar dengan pilihan topik yang sama; komposisi kelompok didasarkan atas ketertarikan topik yang sama dan heterogen; guru membantu atau memfasilitasi dalam memperoleh informasi), (2) merencanakan tugas-tugas belajar (direncanakan secara bersama-sama oleh para siswa dalam kelompoknya masing-masing, yang meliputi: apa yang kita selidiki; bagaimana kita melakukannya, siapa sebagai apa –pembagian kerja; untuk tujuan apa topik ini diinvestigasi), (3) melaksanakan investigasi (siswa mencari informasi, menganalisis data, dan membuat simpulan; setiap anggota kelompok harus berkontribusi kepada usaha kelompok; para siswa bertukar pikiran, mendiskusikan, mengklarifikasi, dan mensintesis ide-ide), (4) menyiapkan laporan akhir (anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial proyeknya; merencanakan apa yang akan dilaporkan dan bagaimana membuat presentasinya; membentuk panitia acara untuk mengkoordinasikan rencana presentasi), (5) mempresentasikan laporan akhir (presentasi dibuat untuk keseluruhan kelas dalam berbagai macam bentuk; bagian-bagian presentasi harus secara aktif dapat melibatkan pendengar (kelompok lainnya); pendengar mengevaluasi kejelasan presentasi menurut kriteria yang telah ditentukan keseluruhan kelas), (6) evaluasi (para siswa berbagi mengenai balikan terhadap topik yang dikerjakan, kerja yang telah dilakukan, dan pengalaman-pengalaman afektifnya; guru dan siswa berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran; asesmen diarahkan untuk mengevaluasi pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis).


0 Responses So Far: